Jakarta (JarrakOnline) - Dalam rangka memperingati hari Migran
Internasional yang jatuh pada 18 Desember. Migrant Care bersama
International Labour Organization (ILO) dan Komnas Perempuan merilis
catatan akhir tahun perlindungan terhadap buruh migran.
"Tahun ini merupakan puncak dari kepasifan pemerintah melindungi
buruh migran. Pemerintah terlihat lamban, 'ompong' dan tidak serius
dalam perlindungan buruh migran," ujar Direktur Migrant Care Anis
Hidayah dalam konferensi persnya di Kantor ILO, Menara Thamrin, Jalan MH
Thamrin, Jakarta Selatan kemarin.
Anis menambahkan, terbukti dari pemantauan Migrant Care sepanjang
2012 terdapat 420 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di
luar negeri. Menurut Anis, vonis hukuman mati tidak adil bagi buruh
migran Indonesia dan keluarganya.
"Hingga akhir tahun 2012, pantauan Migrant Care mendapatkan data ada
420 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri,"
katanya.
Anis mengungkapkan, dari ratusan buruh migran yang terancam vonis
hukuman mati, 99 di antaranya telah divonis hukuman mati. Vonis hukuman
mati terbanyak diberikan kepada buruh migran yang bekerja di Malaysia
dan Saudi Arabia.
"Di Malaysia ada 351 orang, RRC ada 22 orang, Singapura 1 orang,
Filipina 1 orang, dan Saudi Arabia 45 orang. 99 orang di antaranya telah
divonis hukuman mati," ungkapnya.
Anis menegaskan, kasus ancaman hukuman mati tersebut tidak bisa diselesaikan dengan pidato dan pembentukan lembaga ad hoc saja.
"Pemerintah selama ini tidak serius melindungi para buruh migran
Indonesia. Karena, perlindungan tidak akan selesai dengan hanya
pidato-pidato tetapi memerlukan langkah konkrit dengan menghadirkan
langsung Presiden SBY sebagai kepala negara dan pemerintahan melakukan
diplomasi tingkat tinggi," tegasnya.
Anis menjelaskan, banyaknya buruh migran Indonesia yang divonis mati
karena mencoba melindungi diri dari konflik dengan majikan mereka.
Migrant Care tegas menolak vonis tersebut yang menunjukkan ketidakadilan
dan menyalahi hak hidup bagi setiap orang yang dijamin dalam
International Covenant on Civil and Political Rights.
"Dari kasus-kasus yang terungkap, buruh migran Indonesia yang
berkonflik dengan majikan dan mengakibatkan kematian pada majikan adalah
karena buruh migran melakukan tindakan pembelaan dan memepertahankan
diri dari kekerasan yang sering dialami, juga perlawanan dari usaha
perkosaan terhadap dirinya," tuturnya.
Keberadaan Satgas Penanganan TKI yang Terancam Hukuman Mati pun
dipertanyakan oleh Anis. Menurut Anis, Satgas tidak mampu menjawab
tuntutan publik terhadap beberapa situasi yang dialami TKI.
"Kasus seperti Satinah yang tinggal menunggu waktu penetapan eksekusi
karena pemerintahan Indonesia belum juga berhasil membayarkan diyat
untuk pembebasan Satinah dari hukuman mati. Belum lagi penyelamatan Tuti
Tursilawati, Siti Zaenab, Siti Aminah, dan Darmawati yang juga tinggal
menunggu penetapan eksekusi," ujarnya.
Selain hukuman mati, kriminalisasi terhadap buruh migran Indonesia juga makin mencekam.
"Sepanjang tahun 2012, juga terjadi 16 kasus penembakan brutal polisi Malaysia terhadap buruh migran Indonesia," ungkap Anis.
Anis menuturkan, hingga saat ini Migran Care masih memantau
perkembangan kasus penembakan 3 buruh migran asal NTB Herman, Abdul
Kadir dan Maad Noon yang masih penuh dengan kejanggalan.
"Sampai saat ini keluarga korban masih belum mendapatkan akses
informasi mengenai hasil lengkap otopsi karena ada keraguan bahwa ada
organ yang hilang dari 3 tubuh mayat tersebut," tuturnya.
Anis menegaskan, bahwa polisi diraja Malaysia pantas dijuluki sebagai musuh buruh migran Indonesia di tahun ini.
"Mereka kerap kali menembak buruh migran secara brutal tanpa prosedur
hukum. Ini bukti bahwa polisi diraja Malaysia menjadi musuh buat para
buruh migran," tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Program ILO untuk Pekerja Migran Albert Y.
Bonasahat mengatakan, kurangnya informasi yang tepat berkaitan dengan
hak dan kewajiban tenaga kerja Indonesia menjadi permasalahan yang terus
menerus terjadi tanpa penyelesaian optimal dari pemerintah.
"Informasi itu di antaranya mengenai biaya penempatan TKI ke luar
negeri, jenis pekerjaannya, kontrak kerja, negara tujuan, dan produser
migrasi yang benar," katanya.
Bahkan, lanjut Albert, laporan ILO menyebutkan bahwa Perlindungan
Pekerja Migran, daftar perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) yang bagus dan direkomendasikan oleh
pemerintah juga tidak tersedia.
"Akibatnya, sampai dengan saat ini permasalahan pekerja migran di
luar negeri terus ada dan penyelesaiannya dari pemerintah maupun lembaga
terkait tidak optimal," ujarnya.
Selain itu, Albert menilai, kualitas penyelenggaraan pelatihan bagi
calon TKI dan akomodasi pekerja yang tidak sesuai dengan standar dan
cenderung mengurung calon pekerja.
"ILO memandang bahwa mengadvokasi perbaikan perlindungan dan
pelayanan terhadap pekerja migran terkait erat dengan yang didapatkan
pekerja rumah tangga dalam perlindungan, serta pelayanan di negeri
sendiri," jelasnya.
Untuk itulah, perhatian pada kerja advokasi untuk perlindungan hak
pekerja rumah tangga Indonesia yang bekerja di dalam luar negeri juga
menjadi keharusan yang harus dilindungi. "Padahal sudah ada aturan
ratifikasi Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya namum
implementasi dari hal tersebut jauh dari kata memuaskan," tuturnya.
Komisioner Komnas Perempuan Agustinus Supriyanto menambahkan, ada 2
hal yang harus diperkuat untuk melindungi buruh migran di luar negeri.
"Pertama, penguatan regulasi dalam Undang-undang Perlindungan Pekerja
Indonesia di Luar Negeri (UU PPILN). Kedua, penguatan terhadap
penanganan kasus," katanya.
Penguatan regulasi, lanjut Agustinus, didalam pasal 11 ayat 2 bahwa
desa dilibatkan dari awal untuk dilibatkan dalam proses perlindungan
buruh migran. "Desa merupakan wilayah asal muasal pekerja yang terlibat
dari proses perizinan hingga keberangkatan. Sudah semestinya, desa
diberikan akomodasi dan fasilitas untuk mendata warganya secara lebih
ketat," ujarnya.
Kemudian, Agustinus menilai, harus adanya kordinasi yang lebih baik
antara pemerintah pusat, konsulat jendral dan pemerintah daerah untuk
bisa segera menangani bila ada kasus yang menimpa para buruh migran.
"Kordinasi antar lembaga dan pemerintah harus terjalin dengan intens
baik dalam penguatan regulasi, penguatan penanganan kasus maupun
penguatan avokasi. Karena kebanyakan pekerja buruh migran adalah
perempuan maka Komnas Perempuan juga terus mengawal berbagai kasus buruh
migran," jelasnya.
Sekretaris Jendral Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(KSBSI) Sulistri mengatakan, persoalan perlindungan buruh migran
Indonesia yang ada di luar negeri perlu ditingkatkan. "Negara masih
sangat lemah perlindungannya terhadap para buruh. Baik pada saat
keberangkatan ataupun kepulangan," katanya.
Menurut Sulisti, perlu adanya pengawasan efektif terhadap agen
rekrutmen para buruh migran. "Di daerah banyak sekali agen rekrutmen
yang ilegal. Dalam praktiknya kerap menjanjikan impian-impian indah
sehingga membuat pekerjaan ke luar negeri menjadi menarik," ujarnya.
(MB)
0 komentar:
Posting Komentar