JAKARTA, suaramerdeka.com - Pemerintah Indonesia
memang telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Perlindungan Hak-hak Buruh
Migran dan Anggota Keluarganya (melalui UU No. 6 Tahun 2012). Namun
langkah ini harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah harmonisasi
kebijakan terkait buruh migran yang selama ini masih bersifat
diskriminatif terhadap buruh migran.
"Ratifikasi instrumen
internasional ini seharusnya juga menjadi sumberdaya diplomasi
perlindungan buruh migran Indonesia di luar negeri dan bentuk tanggung
jawab konstitusi pemerintah Indonesia dalam perlindungan warga negara
Indonesia," kata Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Selasa
(18/12).
Namun demikian, pemerintah Indonesia hanya berpuas diri
dengan menggunakan ratifikasi ini sebagai alat pencitraan politik luar
negeri, dilaporkan dalam evaluasi Universal Periodic Review namun belum ditindaklanjuti secara konkrit.
Dikatakan,
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baik sebagai Kepala Negara maupun
Kepala Pemerintahan tak sekalipun memanfaatkan sumberdaya politik
diplomasi tersebut untuk melakukan high level diplomacy untuk pembebasan
buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati.
"Berulangkali,
SBY bertemu para pemimpin negara-negara yang menghukum mati/memvonis
mati buruh migran Indonesia di forum ASEAN, APEC dan G20 namun tak
pernah mau menyempatkan diri memperjuangkan hak hidup warga negara
Indonesia," katanya.
Bahkan, kata Anis, dalam pertemuan bilateral
dengan Yang Dipertuan Agong Malaysia di Jakarta tanggal 4 Desember 2012,
masalah buruh migran Indonesia di Malaysia tidak menjadi agenda
pembicaraan.
"Menurut informasi, pada hari ini (18/12) Presiden
SBY akan mengadakan kunjungan kenegaraan ke Malaysia, hendaknya
kesempatan ini tidak disia-siakan untuk memperjuangkan hak-hak buruh
migran Indonesia di Malaysia," tandasnya.
(
Andika Primasiwi , RED / CN26 / JBSM )
0 komentar:
Posting Komentar