JAKARTA, suaramerdeka.com
- Memungkasi tahun 2012, sebagian besar rakyat Indonesia masih dipenuhi
rasa kekhawatiran atas kelambanan proses penyelamatan nyawa Satinah,
seorang PRT migran Indonesia dari eksekusi pancung. Wanita asal Ungaran
ini hanya bisa diselamatkan oleh pembayaran Diyat yang besarannya masih
dinegosiasikan, dengan alasan pemerintah Indonesia kesulitan menyediakan
dana untuk pembayaran Diyat.
"Ini semua terjadi karena negara
lamban mengadvokasi kasus Satinah yang dituduh membunuh dan mencuri.
Menurut pengakuan Satinah, tak ada pembela hukum dan penterjemah yang
mendampinginya selama lima kali persidangan sehingga pembelaan yang
menjadi hak-nya tidak menjadi pertimbangan hukum yang memadai," kata
Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, Selasa (18/12).
Menurutnya,
gambaran kasus Satinah adalah gambaran utuh wajah kerentanan buruh
migran Indonesia saat ini. Pada saat berhadapan dengan masalah, buruh
migran dibiarkan sendirian dan tidak mendapatkan pembelaan dan
perlindungan yang dibutuhkan.
Menurutnya, kalaupun pemerintah
terlibat dalam proses penanganan buruh migran, seringkali bertindak
lamban, diskriminatif dan bahkan turut serta mengkriminalisasi buruh
migran itu sendiri. Bukan hanya dalam kasus Satinah, pemerintah terlihat
lamban, tapi juga dalam kasus ancaman hukuman mati terhadap buruh
migran Indonesia yang terjadi di Malaysia.
"Kasus yang dialami
oleh Maryanto dan dua buruh migran asal Pontianak (frans dan Dhary) juga
menyedihkan, selama persidangan tidak diketahui oleh KBRI dan pengacara
dibiayai oleh iuran buruh migran Indonesia," katanya.
Kehadiran
pemerintah seringkali juga terlambat sehingga sulit untuk bisa
mendayagunakan sumberdaya diplomasi dalam advokasi pembebasan buruh
migran yang terancam hukuman mati. Ketika tersudut dalam negosiasi
besaran Diyat dalam kasus Satinah, pemerintah juga masih terlihat
“pelit” untuk mengeluarkan biaya dalam pembebasan Satinah, dengan alasan
dana yang dibutuhkan terlalu besar.
Padahal, kata dia, jika
dikalkulasi, besaran Diyat masih lebih kecil dari anggaran Satgas TKI
sebesar Rp. 200 milyar yang sebagian besar habis untuk biaya perjalanan,
atau penghambur-hamburan uang negara untuk perjalanan studi banding
anggota DPR dan perjalanan dinas Presiden RI untuk tujuan pencitraan.
"Pelitnya
pemerintah juga ditunjukkan dalam keengganan mereka melakukan evakuasi
terhadap puluhan ribu buruh migran Indonesia yang terperangkap perang
saudara di Suriah," tandasnya.
(
Andika Primasiwi , RED / CN26 / JBSM )
0 komentar:
Posting Komentar