Kisah pilu kembali tergores dari pengalaman seoranag perempuan muda mantan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang berasal dari desa pelosok diwilayah semarang Jawa Tengah. Namanya Novi Kurniasih. ia dibesarkan dari keluarga sederhana. Ibu Novi hanyalah petani, sedangkan sang bapak adalah pekerja lepas yang tekun dan ulung. Novi bercita-cita ingin melanjutkan belajar hingga tingkat Universitas. hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan keadaan desanya yang menganggap dunia perkuliahan adalah sesuatu yang terlalu mewah, sehingga kebanyakan masyarakat tidak mengenal dunia pendidikan kaum elit itu.
Optimisme Novi tak pernah luntur hanya karena paradigma lingkungannya. Ia
mengambil studi di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, dengan jadwal
kuliah dilakukan pada malam hari. Pagi harinya, Novi mencoba mencari pekerjaan
untuk biaya kuliah. Sayangnya, rencana tersebut tak semulus yang diimpikan.
Pekerjaan sangat susah untuk didapat. Padahal ia telah berusaha melamar menjadi
pegawai di pabrik-pabrik, menjadi penjaga kios di pasar, bahkan melamar menjadi
seorang pembantu pun tetap
belum ada yang menerima.
Alhasil, Novi memutuskan untuk cuti kuliah dan merantau menjadi TKI. Pada
pertengahan tahun 2006, dirinya mendaftarkan diri menjadi calon TKI di suatu
agen. Setelah kurang lebih enam bulan bekerja di Taiwan, pengalaman pahit
menghampiri gadis tangguh ini. Novi dianiaya oleh keluarga majikan. Tak hanya
itu, job yang ditandatangani sebelum berangkat rupanya tidak sesuai
dengan kondisi kerja di lapangan. “Saya disuruh bekerja dengan jam kerja yang
sangat banyak. Saya juga pernah dipukul, didorong dari tangga, hingga disekap
selama empat hari oleh agensi di luar negeri,” tutur Novi sebelum akhirnya
dipulangkan di Indonesia.
Kepulangan Novi dan beberapa temannya ke Indonesia pun, ternyata menyisakan
kepedihan yang luar biasa. “Kami pulang dalam keadaan depresi berat. Sempat
dirawat juga di panti rehabilitasi wilayah Magelang selama lebih dari dua
bulan, hingga tidak bisa bicara dan badan kaku terlentang di tempat tidur,”
imbuh Novi, yang mengaku bisa mengingat kejadian keji itu dalam keadaan yang
tak berdaya.
Lepas dari jeratan nestapa, Novi pun bangkit dan menjadi salah seorang
pegiat buruh migran di Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) wilayah Semarang.
Dirinya juga memiliki cita-cita mulia untuk membuat yayasan yatim piatu dan
cacat ganda. Cita-cita tersebut, dimulai Novi dengan mendirikan sebuah lembaga
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diberi nama PAUD Merah Putih. Selain aktif sebagai
anggota divisi media untuk kegiatan sosial di SBMI , ia juga sedang menekuni
sebuah usaha yang dijalankan di Kampus Universitas Negeri Semarang.